Jumat, 20 Februari 2009

Isu Strategis Ketimpangan Wilayah (Strategic Issues on Inequality in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta

Siapapun pemerintah dan legislator yang terpilih dari Pemilu 2009 segera dihadang permasalahan ketimpangan pembangunan wilayah. Sekalipun pemerintah pusat tetap mendominasi kebijakan fiskal berikut pembagiannya ke daerah, namun era desentralisasi telah menggelembungkan hasrat keadilan ke seluruh wilayah tanah air.

Persoalan ketimpangan selama ini rumit diantisipasi maupun diatasi, lantaran isu-isu strategis di dalamnya tidak pernah selengkapnya terkuak. Tembok problema kian menebal seiring terakumulasinya sebagian aspek ketimpangan sejak berabad-abad lalu.

Ekonomi Ketimpangan

Isu strategis ketimpangan wilayah yang paling sering ditembak berkisar pada institusi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu memperpanjang ekor peningkatan ketimpangan di antara warga negara. Hanya krisis-krisis ekonomi yang bisa menurunkan derajat ketimpangan secara drastis. Dilema kemudian muncul, karena tidak etis “mengharapkan” krisis sebagai pembuka pintu keadilan ekonomi.

Dilema lainnya tertuju di Jawa, terutama di seputar Jakarta. Infrastruktur ekonomi, kegiatan bisnis dan industri termaju serta terbanyak mengumpul di sini. Namun paradoks menyembul ketika jumlah absolut penduduk miskin maupun pengangguran juga tumpah ruah di Jawa.

Jika kinerja ekonomi nasional atau ekonomi makro diukur menurut akumulasi wilayah-wilayah, maka menangani mesin ekonomi di Jawa menjadi paling strategis. Dijamin segenap indeks pembangunan meningkat dan meninggi. Namun pada saat bersamaan ketimpangan dengan wilayah luar Jawa meluap.

Geografi Ketimpangan

Yang seringkali terselip, namun barangkali menjadi isu geografis yang terpenting, ialah ketimpangan wilayah perkotaan dan pedesaan. Meskipun ketimpangan kota-desa hanya memberikan sumbangan yang kecil bagi keseluruhan ketimpangan nasional (8 persen sebelum krisis moneter), namun sumber dari hampir seluruh ketimpangan di Indonesia dimulai dari sini.

Kesulitan kian besar di masa depan, sebab ketimpangan desa-kota cenderung meningkat lantaran kota kian menyedot warganegara berpendidikan lebih tinggi, dengan konsekuensi digaji lebih besar. Padahal sekitar 62 persen sumber ketimpangan nasional bersarang pada upah dan gaji, terutama dari pekerjaan di luar pertanian. Semua ini ada di perkotaan.

Ketimpangan antar provinsi memang tetap muncul, namun perlu selalu diingat bahwa sumber yang lebih besar berasal dari ketimpangan antar kabupaten/kota di dalam propinsi sendiri. Kontribusi ketimpangan antar kabupaten/kota mencapai sekitar 75 persen dari seluruh ketimpangan geografis.

Tentu saja ini menjadi sinyal merah, lantaran desentralisasi sejak tahun 2000 dipraktekkan pada tingkat kabupaten. Tidak mengherankan hingga kini belum juga muncul indikasi penurunan ketimpangan geografis, bahkan dalam tiga tahun terakhir indeks Gini berbasis pengeluaran sempat meningkat di atas 0,35 (sementara indeks Gini berbasis pendapatan senantiasa di atas ambang psikologis ketimpangan 0,40).

Demografi Ketimpangan

Sejak masa penjajahan –atau justru karena penjajahan—ketimpangan penduduk Jawa dibandingkan luar Jawa sungguh keterlaluan. Masih ada 60 persen penduduk yang berdiam di Jawa pada tahun 2005. Sebagaimana dikemukakan, Jawa sekaligus menjadi kantong kemiskinan dan pengangguran. Namun itu pula alasan pemusatan industri bertenaga kerja murah di pulau ini dari abad ke 19 hingga kini.

Pertumbuhan ekonomi melahirkan isu demografis lain yang perlu diantisipasi, yaitu meningkatnya ketimpangan antar kelompok umur atau kohort penduduk saat memasuki usia 30 tahun. Kiranya pada umur tersebut pendapatan pekerja sudah mapan. Semakin mendekati batas pensiun, kian tinggi ketimpangan antar kohort, dan memuncak pada umur 50 tahun. Pemangku republik di masa depan akan mewarisi isu ketimpangan kohort lebih mendalam, lantaran piramida penduduk Indonesia cenderung menua, atau proporsi penduduk lanjut usian terus meningkat.

Sosial-Budaya Ketimpangan

Program Wajib Belajar telah mampu menghilangkan ketimpangan pendidikan dasar. Geliat ketimpangan baru bangun semenjak tingkat pendidikan menengah atas.

Namun dering bahaya berbunyi karena ketimpangan budaya dan faktor swasta turut menyelinap ke dalam ketimpangan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Pendirian sekolah unggulan dan rumah sakit besar oleh swasta meningkatkan ketimpangan akses penduduk biasa dibandingkan penduduk kaya.

Etnis Cina mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan lebih tinggi. Bahkan pendapatan etnis Cina rata-rata tiga kali lipat daripada etnis lain.

Aspek etnis pun kian muncul sebagai perusak bhinneka tunggal ika. Melalui studi hukum adat dan indologi, Belanda mengobyektifikasi komunitas etnis, termasuk lokasi tempat tinggal mereka secara kultural. Kala itu identitas etnis digunakan untuk memudahkan pemerintahan melalui tangan petinggi adat. Namun muncul pula kegunaan negatif, ketika identitas menjadi mesiu untuk mengadu domba antar etnis.

Pada era pasca krisis moneter kini, sayangnya, identitas etnis kembali ditebalkan melalui penguatan lembaga adat. Penguatan modal sosial ini sekaligus membatasi akses etnis lain di wilayah budaya etnis, baik dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik.

Pembeberan isu-isu strategis ketimpangan wilayah di atas bukan untuk mengecilkan hati, melainkan untuk memudahkan penanganann. Memecahkan masalah ketimpangan wilayah adalah tindakan bersejarah.